The Giant Killer, Pelaku Sejarah Bulutangkis Bangsa Indonesia Berpulang di Usia 88 Tahun

aksiradio – Berita duka datang dari dunia bulutangkis Indonesia. Legenda Bulutangkis Indonesia berjuluk “The Giant Killer” berpulang pada usia 88 tahun di Rumah Sakit Medistra, Gatot Soebroto, Jakarta Selatan. Senin (02/06/2025).

Meski sempat mendapat julukan,The Giant Killer, nama Tan Joe Hok yang terlahir pada 11 Agustus 1937 di Bandung, kalah tenar dari Rudi Hartono yang menjadi juara dunia 1980 serta 8 kali juara All England antara tahun 1960-an dan 1970-an.

Tan Joe Hok sebelum menjadi orang pertama yang mencetak sejarah sebagai pemain bulutangkis Indonesia setelah menjadi juara di kejuaraan bulutangkis All England 1959, telah terlebih dulu menorehkan tinta emas dikala menjadi juara pertama kalinya mengangkat trophy di Piala Thomas pada tahun 1958.

Pada edisi Piala Thomas 1958 tersebut, Joe Hok dkk mengalahkan Malaysia dengan skor 6-3. Joe Hok juga pernah menyumbangkan medali emas untuk Indonesia dari Asian Games edisi 1962.

Sejak meraih Piala Thomas itu, nama Tan Joe Hok dikenal sebagai salah satu dari “Tujuh Pendekar Bulu Tangkis Indonesia” bersama Ferry Sonneville, Lie Poi Djian, Tan King Gwan, Njoo Kim Bie, Eddy Yusuf dan Olich Solihin.

Meskipun jasanya luar biasa tapi Tan Joe Hok menjadi sosok pelaku sejarah yang nyaris dilupakan negaranya sendiri. Usai mengharumkan nama bangsa, di masa Orde Baru ia tetap menghadapi stereotip, kecurigaan, bahkan kesulitan administratif hanya karena darah leluhurnya.

Sungguh ironis, negara yang ia banggakan tidak selalu membanggakan dirinya. Ini menjadi pelajaran untuk Bangsa Indonesia, khususnya bagi pemerintah saat ini dan kemudian hari agar jangan sampai terus terulang.

Negara harus belajar menghargai seluruh warganya setara. Pemerintah perlu merancang sistem penghargaan dan perlindungan jangka panjang bagi para atlet berprestasi, bukan hanya seremoni sesaat.

Sebagai contoh lain, Petinju Ellyas Pical yang sempat mengharumkan nama Indonesia dikala menjadi juara dunia pertama kali, saat menjadi atlet disanjung, usai gantung sarung tinju hidupnya miris, bahkan hingga terpaksa harus menjadi sekuriti  di tempat hiburan malam.

Indonesia harus menjadi milik kita semua, rumah bersama, tanpa ada perbedaan SARA, tanpa perbedaan antara minoritas dan mayoritas, harus menghargai para pahlawan olahraga hingga jaminan masa hidup yang berkelanjutan.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *